BPJS

Benarkah asuransi serba gratis itu menguntungkan?




Saya tidak tahu bagaimana keadaan pasti di centre kesehatan lainnya. Namun saya melihat banyak kekurangan yang membuat para praktisi kesehatan menjadi sulit bergerak. Berikut adalah beberapa kondisi yang saya alami. Ini adalah rintihan saya, ya.. Merintih.. Karena toh suara jeritan hati saya tidak akan mengubah kenyataan suatu sistem yang kacau.

Keadaan di poliklinik kini menjadi semakin "panas". Mengapa? Kita mulai ceritanya... Umumnya "penghuni tetap" pasien kami adalah para veteran, pensiunan PNS yang dahulu memakai fasilitas ASKES. Dahulu kami lebih bebas menggunakan obat, namun kini? Obat yang ada sangat terbatas. Sedangkan kita tahu, bahwa umumnya usia rentan seperti ini memiliki banyak penyakit. Hipertensi, stroke, ginjal, jantung, namun coba tanyakan pada mereka apakah semua obat yang kami resepkan bisa didapat? Jawabannya tidak. Kami sudah meresepkan apa yang mereka butuhkan namun keterbatasan obat membuat semakin sulit. Bahkan pernah beberapa waktu lamanya paracetamol saja tidak ada. Obat yang biasa mendapat full satu bulan, kini harus mengocek kantong sendiri, bahkan pernah satu orang ibu yang hanya mendapat satu dari lima obatnya. Pada akhirnya saya selalu berkata, coba tanyakan dengan orang BPJS, bila ada kendala seperti ini.. Karena jujur saja, seringkali masyarakat menganggap bahwa dokter yang salah, bahwa dokter tidak tahu bahwa semuanya HARUS GRATIS! Kami sudah meresepkan, ada tidaknya obat silahkan tanyakan pada BPJS.

Belum lagi sekarang obat hanya diberikan untuk 7 hari, bahkan tidak jarang kurang daari itu. Bayangkan saja, sekiranya pasien tersebut rujukan dari RS satelit (mayoritas memang rujukan) yang notabene jaraknya jauh dengan ongkos yang tidak sedikit, ditambah pasien kami seringkali lumpuh dan mereka harus setiap minggu datang ke RS yang memakan waktu setengah hari, mereka inilah yang harus datang setiap minggu! Berapa biayanya? Padahal kita tahu, bahwa mayoritas pasien RS pemerintah adalah orang yang kurang mampu. Tidak jarang kami mendengar keluhan pasien yang mengeluh bahwa selama ini gaji mereka dipotong namun rasanya sekarang tidak ada gunanya, karena obat nyeri saja tidak ada. Belum lagi seorang veteran yang berteriak dengan lantang, saaya sudah berjuang untuk negara ini namun ini yang saya dapatkan?! Kakek, terima kasih atas perjuanganmu. Namun orang diatas sana yang harus mendengar jeritanmu.

Adalagi.. Taukah anda berapa jumlah plafon untuk penyakit stroke? Hanya beberapa juta saja. Mari kita berhitung, pemeriksaaan darah bisa mencapai 500.000-an (minimal jika tidak ada komplikasi, jika ada komplikasi jangan tanyakan karena pernah pasien saya hanya pemeriksaan laboratorium menapai 20 juta), CT Scan 600-an, belum biaya kamar sekitar 250.000, minimal dirawat 7 hari (jika stroke perdarahan akan lebih), selang infus, obat. Sekedar informasi, stroke umumnya terjadi karena darah tinggi dan sering kali dalam keadaan tensi yang terlalu tinggi, kami harus menurunkannya dengan obat yang harganya 250.000 per ampul dengan kebutuhan rata2 4 buah, tidak jarang lebih dari itu. Dan satu lagi yang perlu anda ketahui... Biaya dokter hanya 10.000 untuk pasien kelas 3 non bpi. Itu kenyataannya, bung.... Seringkali pasien dirawat terkena infeksi paru dll. Tentu hal itu akan membuat biaya semakin tinggi. Berapa harga antibiotik? Padahal kita tahu, bahwa kuman di RS sudah kebal dengan obat biasa. Ketakutan kami adalah batasan plafon. Akhirnya, segala cara dan upaya kami lakukan. Memangkas yang bisa kami pangkas. Akibatnya? Pelayanan yang menjadi tidak optimal atau di bawah standar. Salah kami? Coba tanyakan pada BPJS. Mungkin mereka lebih tahu jawabannya.

Belum lagi, sang pemimpin kehormatan BPJS pernah berkata bahwa CT Scan tidak diperlukan dalam mendiagnosa stroke. Haduh, patut diragukan kompetensi bapak yang satu ini.. Kedudukan yang didapat hanya karena politik semata. Kemampuan? Terlihat jelas dari sistem yang dibuatnya. Chaos.. Katanya... orang BPJS sendiri tidak menggunakan BPJS lohhhh, malah menggunakan asuransi I*H*alth, hahahaha... Takut yah pake produk sendiri karena tau bobroknya kaya gimana?

Itu hanya sebagian kecil dari masalah yang kami hadapi setiap harinya. Hati nurani menjadi beku. Terbentur dengan sistem, kami berada ditengah. Dipaksa untuk melakukan sistem yang masih kacau, tidak difikirkan dengan matang. Namun pasien juga tidak akan mungkin kami telantarkan. Apa yang bisa kami lakukan? Berada di lingkaran setan.

Dan tolong.. Stop menjual masalah kesehatan sebagai ajang untuk jualan, terlebih lagi masa seperti pemilu seperti ini. Memang merupakan lahan yang sangat empuk untuk dijual, namun kenyataannya? Perbaiki dahulu sistemnya, APBN untuk kesehatan yang betul, perbaiki moral para petinggi yang duduk di singgasana.. Sesuatu yang hampir mustahil di Indonesia.. Untuk saat ini..

Akhir kata.. Tidak jarang pasien datang dan berkata, dok.. Layani saya sebagai pasien umum, saya bukan BPJS. Anda tahu bagaimana perasaan saya ketika mendengarnya? Lega. Bukan karena saya membedakan pelayanan antara pasien BPJS dan bukan, namun karena saya bisa memaksimalkan pelayanan, sesuatu yang memang pasien butuhkan, tidak terbentur dengan sistem yang "dipaksakan" namun membunuh perlahan...

My Other Celotehan